http://www.youtube.com/watch?v=eOpsTUygeGc
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok
Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin
(Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi
Hainan, RRT.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang
prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku
harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang
Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie
Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok
Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan
sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa,
misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan
Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari
seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah
dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran
Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999
diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.
Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di
Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan
Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat
sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang
diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik
pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang
tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut.
Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
Other Artikel About Gie
Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, adik dari sosiolog
Arief Budiman. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8
Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah buku yang
berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman.
Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 —
16 Desember 1969 akibat gas beracun.
Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas
Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis
kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar
terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik
tajam rejim Orde Baru.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era
demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah
kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan
misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit
untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan
pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung
Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I
see the secret of the making of the best person. It is to grow in the
open air and to eat and sleep with the earth”.
Soe Hok Gie di pilar triangulasi puncak Pangrango, 1967
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya.
Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga
kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan
piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena
dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan
menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya
3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa
naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami
adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak
mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai
tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik
gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak
tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian
Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan
untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit
sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang
intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian
Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke
Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung
tersebut.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua
hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975
Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi,
namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia
meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung.
Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan
abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial
adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati
muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti
monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi.
Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin
dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai
kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie
adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum
punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR.
John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan
meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas
Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis.
Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.
Catatan Seorang Demonstran
John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar